Beranda | Artikel
Kebenaran Makna dan Ukurannya
Jumat, 23 Agustus 2024

Seorang manusia yang masih bagus fitrahnya, jika melihat al-haq (kebenaran) maka dia akan mengikuti dan mencintainya. Akan tetapi setiap kelompok manusia yang menyakini sesuatu dan memperjuangkannya, semua merasa di atas al-haq (kebenaran). Namun bagaimana mungkin mereka semua di atas al-haq, kemudian berlawanan satu dengan lainnya. Padahal al-haq itu satu adanya, dan tidak ada yang menentangnya kecuali kebathilan dan kesesatan. Dengan berpijak di atas al-Kitab dan as-Sunnah dengan bimbingan para ulama umat, kami persembahkan -bi idzinillâh- sedikit keterangan mengenai al-haq ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.

  1. Makna al-haq

Secara bahasa al-haq (kebenaran) berarti: Yang ada secara pasti; yang cocok dan sesuai dengan yang sebenarnya; yang ada dengan tanpa keraguan; yang bermanfaat; tidak sia-sia dan binasa.

‘Allamah ar-Râghib al-Ishfahani menyebutkan bahwa makna al-haq (kebenaran) secara asal adalah: kesesuaian. Kemudian al-haq mempunyai beberapa makna:

  1. Pencipta sesuatu dengan satu sebab yang menunjukkan hikmah (tidak sia-sia). Oleh karena itu, Allâh l disebut al-Haq.
  2. Sesuatu yang diciptakan sesuai dengan tuntutan hikmah (tidak sia-sia). Oleh karena itu, seluruh perbuatan Allâh adalah haq (benar).
  3. Keyakinan terhadap sesuatu yang sesuai dengan keadaan sebenarnya, terhadap apayang ada pada sesuatu tersebut. Seperti ucapan kita, “Keyakinan Fulan tentang al-ba’ts (hari dibangkitkan makhluk dari kuburnya di hari kiamat), pahala, siksa, surga, dan neraka adalah haq”.
  4. Untuk perbuatan dan perkataan yang terjadi sesuai dengan yang semestinya, seukuran yang semestinya dan pada waktu yang semestinya.

Kemudian beliau juga menyatakan bahwa al-haq (juga) berarti : ketetapan yang sesuai dengan tuntutan hikmah. (Mu’jam Mufradât Al-Fâzhil-Qur’an” hlm. 124-125, Penerbit: Darul-Fikr, tanpa tahun)

Di dalam Mu’jamul-Wasîth disebutkan arti al-haq, yaitu:

  • Satu nama dari nama-nama-Nya (Allâh) عزوجل .
  • Yang pasti dengan tanpa keraguan.

Di dalam an-Nihâyah, bab: haqqaqa, disebutkan, ”Di dalam nama-nama Allâh عزوجل terdapat nama al-Haq, yaitu: Yang benar-benar ada, dan keberadaan-Nya serta hak-Nya untuk diibadahi adalah pasti. Dan (juga) al-haq adalah lawan dari al-bathil (kebathilan)”.

Sehingga ringkasnya, al-haq adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu bahwa al-haq itu ada dua jenis:

  1. Haq Maujûd (kebenaran yang ada); kewajiban (manusia dalam hal ini -pen) adalah mengetahuinya dan jujur di dalam memberitakannya (ilmu -pent). Sedangkanlawannya adalah kebodohan dan dusta.
  2. Haq Maqshûd (kebenaran yang dituju); yaitu yang bermanfaat bagi manusia; kewajiban (manusia dalam hal ini -pen) adalah menghendakinya dan mengamalkannya. Sedangkan lawannya adalah menghendaki kebathilan dan mengikutinya. (Majmû’ Fatâwâ, XV/241)
  1. Jalan al-haq dan jalan yang menyimpang.

Dengan keterangan di atas bisa diketahui, bahwa jalan al-haq ada dua yaitu: ilmu dan amal. Keduanya ini saling berkaitan. Ilmu itu menuntut adanya amalan, sebaliknya adanya amal itu mengharuskan adanya ilmu yang mendasarinya. Jika keduanya ada, berarti ilmu itu menjadi ilmu nafi ’ (ilmu yang bermanfaat) dan amalan yang didasari ilmu yang bermanfaat itu menjadi amal shalih. Ini diisyaratkan oleh Allâh عزوجل dalam beberapa tempat di dalam kitab-Nya, antara lain fi rman-Nya tentang orang-orang yang bertakwa:

اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ٥

Mereka itulah berada di atas petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Baqarah/2: 5)

Saat menafsirkan ayat ini, al-Hafizh Ibnu Katsir رحمه الله (wafat, th 774 H) mengatakan, “Allâh عزوجل berfirman (Mereka itulah): yaitu orang-orang yang mempunyai sifat-sifat yang disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya, seperti beriman kepada yang ghaib, menegakkan shalat, menginfakkan sebagian rezeki yang Allâh anugerahkan kepada mereka, iman kepada apa yang telah Allâh turunkan kepada Rasul (Muhammad ﷺ ) dan Rasul-Rasul sebelum Beliau ﷺ serta meyakini keberadaan akhirat dengan keyakinan yang mendorong mereka menyiapkan diri dengan amalan-amalan shalih dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Mereka inilah yang berada di atas petunjuk” . (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Baqarah/2: 5)

Demikianlah, mereka menjadi orang-orang yang beruntung karena menggabungkan antara ilmu nafi ’ dan amal shalih. Ilmu nafi ’ yang berupaiman kepada yang ghaib dan iman kepada apa yang Allâh turunkan. Amal shalih yang berupa menegakkan shalat, berinfaq dan yakin adanya kampung akhirat.

Juga firman-Nya:

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ ٣٣

Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk (al-huda) dan agama yang haq. (QS. At-Taubah/9: 33; al-Fath/48: 28; ash-Shaff/61: 9)

Al-Hafizh Ibnu Katsir رحمه الله berkata pada tafsirnya tentang ayat ke-33 Surat at-Taubah, “Al-huda (petunjuk) adalah apa yang dibawa oleh Rasûlullâh ﷺ , berupa pemberitaan-pemberitaan yang benar, iman yang shahih dan ilmu yang bermanfaat. Sedangkan agama yang haq adalah amalan-amalan yang shalih, yang shahih, yang bermanfaat di dunia dan di akhirat”. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. at-Taubah/9:33)

Jadi, dalam al-Qur’an banyak ayat yang berisi ancaman keras terhadap orang yang amalannya menyelisihi ilmu dan ucapannya. Allâh l berfi rman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ ٢ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ ٣

Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allâh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaff/61:2-3) Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di رحمه الله (wafat th 1376 H) mengatakan, “Oleh karena inilah, orang yang memerintahkan kebaikan, sepantasnya dia menjadi orang pertama yang bersegera melakukannya. Dan orang yang melarang dari keburukan (sepantasnya) dia menjadi orang yang paling jauh dari keburukan itu”. (Taisî rul-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâmil Manân, VII/366)

Imam Ibnul Qayyim رحمه الله (wafat th 751 H) berkata, “Barangsiapa tidak mengenal al-haq, maka dia sesat. Dan barangsiapa mengenal alhaq, akan tetapi lebih mementingkan selain al-haq, maka dia adalah orang yang dimurkai. Allâh عزوجل telah memerintahkan, agar di dalam shalat, kita memohon agar Allâh عزوجل membimbing kita di atas jalan orang-orang yang telah Allâh anugerahi kenikmatan, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang yang sesat.

Oleh karena itu, orang-orang Nasrani (secara) lebih khusus mengalami kesesatan, karena mereka adalah umat yang bodoh. Sedangkan orang-orang Yahudi (secara) lebih khusus mendapatkan murka (Allâh), karena mereka adalah umat yang membangkang. Adapun umat (Islam) ini adalah umat yang mendapatkan nikmat.

Sufyan bin Uyainah رحمه الله berkata, “Jika ada ahli ibadah kita yang rusak, berarti pada diri orang itu ada keserupaan dengan orang-orang Nasrani. Dan siapa di antara para ulama kita yang rusak, maka padanya itu ada keserupaan dengan orang-orang Yahudi”. Karena orang-orang Nasrani itu beribadah dengan tanpa dasar ilmu, sedangkan orang-orang Yahudi itu mengenal al-haq, tetapi mereka menyimpang darinya”. (Mawâridul Amân, hlm. 63-64,penerbit: Dar Ibnul-Jauzi, cet:V, tahun:1415 H/ 1995 M)

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa orangorang yang bahagia adalah mereka yang mengenal al-haq dan mengikutinya. Sedangkan orang-orang yang celaka adalah mereka yang tidak mengenal al-haq, sehingga mereka tersesat, atau mereka yang mengetahui al-haq tetapi mereka menyelisihinya dan mengikuti selainnya.

Allâh عزوجل menyatakan bahwa Rasul-Nya bersih dari dua hal itu, dari kesesatan dengan sebab kebodohan dan dari mengikuti hawa nafsu. Allâh عزوجل berfi rman:

وَالنَّجْمِ اِذَا هَوٰىۙ ١ مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوٰىۚ ٢ وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى ٣ اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ ٤

Demi bintang ketika terbenam! Kawanmu itu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula mengikutihawa nafsu. Dan tidaklah dia berbicara menurut hawa nafsunya. (Ucapannya) itu hanyalah wahyu yang diwahyu kan (kepadanya). (QS. An-Najm/53: 1-4)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله (wafat th 728 H) mengatakan, “Allâh عزوجل membersihkan Beliau (Rasûlullâh) ﷺ dari dhalal (kesesatan) dan dari ghawâyah (mengikuti hawa nafsu) yang keduanya itu merupakan kebodohan dan kezhaliman. Orang yang sesat adalah orang yang tidak mengetahui al-haq, sedang orang yang ghawâyah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya. Dan Allâh memberitahukan bahwa Beliau tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya ﷺ adalah wahyu yang Allâh wahyukan kepada Beliau ﷺ . Jadi, Dia l menyifati Rasûlullâh dengan ilmu dan membersihkannya dari hawa nafsu.” (Majmû’ Fatâwâ, III/383)

Sehingga obat dari kejahilan dan kesesatan, itu adalah ilmu yang bermanfaat (iman) sedang obat dari kezhaliman dan mengikuti hawa nafsu adalah adil, amal shalih dan mengikuti al-haq.

  1. Wahyu, ukuran al-haq

Ukuran al-haq adalah wahyu Allâh yang diberikan kepada Rasul-Nya. Inilah hakikat yang banyak disebutkan oleh Allâh عزوجل dalam al-Qur’an, di antaranya:

فَاِنْ كُنْتَ فِيْ شَكٍّ مِّمَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ فَسْـَٔلِ الَّذِيْنَ يَقْرَءُوْنَ الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ لَقَدْ جَاۤءَكَ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَۙ

Maka jika engkau (hai Nabi -pen) berada dalam keraguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelummu. Sesungguhnya telah datang al-haq (kebenaran) kepadamu dari Rabbmu, sebab itu janganlah sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang ragu. (QS. Yûnus/10: 94)

Tanyakanlah kepada orang-orang yangmembaca kitab sebelummu, yaitu ahlu kitab yang telah masuk Islam dan beriman terhadap dakwah Nabi ﷺ , seperti Abdullah bin Salam! Mereka pasti akan mengabarkan kepadamu bahwa ia (al-Qur’an yang Kami turunkan kepadamu itu) adalah benar-benar kitab Allâh dan bahwa engkau adalah Rasul-Nya serta Taurat menyaksikan dan mengatakan tentang hal itu. “Sesungguhnya telah datang al-haq kepadamu dari Rabbmu” dalam (fi rman Allâh) ini terdapat penjelasan yang menghapus keraguan, yaitu persaksian Allâh l bahwa yang mereka ragukan ini adalah al-haq (kebenaran) yang tidak tercampur kebathilan dan tidak ternoda oleh kesamaran (Lihat Zubdatut-Tafsir min Fathil-Qadir”, Surat Yunus, ayat ke-94, Syaikh DR. Muhammad Sulaiman ‘Abdullah al-Asyqar)

Diriwayatkan dari Qatâdah bin Di’amah bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda:

لَاأَشُكُّ وَلَاأَسْأَلُ

Aku tidak bimbang dan aku tidak akan bertanya. (HR. Abdurrazzaq dalam Tafsirnya, 4/202, secara mursal, sehingga lemah)

Demikian juga dikatakan oleh Sa’id bin Jubair, al-Hasan al-Bashri dan Ibnu Abbas (Tafsir Ibnu Katsir, QS.Yunus/10:94)

Allâh l juga berfi rman:

قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ

Katakanlah! Wahai manusia! Sesungguhnya kebenaran (al-haq) telah datang kepadamu dari Rabbmu. (QS. Yûnus/10: 108)

Al-Hafizh Ibnu Katsir رحمه الله mengatakan, “Allâh l memerintahkan Rasul-Nya supaya memberitakan kepada manusia, bahwa apa yang Beliau bawa dari sisi Allâh adalah al-haq yang tidak ada kebimbangan dan keraguan di dalamnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Yunus/10:108)

Juga firman-Nya:

Wahai manusia! Sesungguhnya telah datang Rasul itu (Muhammad) kepada kamu, dengan (membawa) al-haq dari Rabbmu, maka berimanlah kamu, itu lebih baik bagimu. (QS. An-Nisâ’/4: 170)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsir ayat ini, “Yaitu Muhammad ﷺ telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang haq dan penjelasaan yang memuaskan dari Allâh عزوجل . Berimanlah dengan apa yang Beliau ﷺ bawa dan ikutilah dia! Itu lebih baik bagi kamu.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. An-Nisâ’/4: 170)

  1. Al-Kitab dan As-Sunnah adalah wujud wahyu Allâh

Dengan demikian, untuk menilai sesuatu itu haq atau bathil, tidak ada ukurannya kecuali wahyu dari Allâh عزوجل kepada Rasul-Nya, Muhammad ﷺ yang berupa al-kitab (al-Qur’an) dan as-Sunnah. Itulah yang bisa dijadikan petunjuk dan sebagai tempat berhukum yang akan menuntaskan segala perselisihan serta membangun persatuan. Allâh l berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dengan yang bathil). (QS. Al-Baqarah/2: 185)

Allâh عزوجل juga berfirman:

اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ ۗوَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا ۙ

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa al-haq, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allâh tunjukkan kepadamu. (QS. An-Nisâ’/4: 105)

Sedangkan keharusan untuk berpegang dengan as-sunnah, perintah untuk mentaati dan mengikuti Rasûlullâh disebutkan di banyak tempat dalam al-Qur’an. Rasûlullâh ﷺ ditugaskan untuk menerangkan al-Qur’an, sehingga penjelasan Beliau ﷺ harus diikuti.

Allâh عزوجل berfirman:

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan Kami turunkan peringatan itu (yaitu al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir. (QS. An-Nahl/16: 44)

Mengikuti Rasûlullâh ﷺ adalah bukti kecintaan seorang hamba kepada Allâh l :

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah! Jika kamu mencintai Allâh, maka ikutilah aku, niscaya Allâh akan cinta kepada kamu, dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali-’Imran/3: 31)

Beliau adalah teladan yang baik, sehingga harus diteladani oleh orang yang mengharapkan pahala Allâh عزوجل :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Sesungguhnya Rasûlullâh (Muhammad) itu adalah teladan yang baik bagimu, yaitu bagi siapa yang mengharapkan pahala Allâh dan (balasan) hari akhir, dan senantiasa dia mengingat Allâh. (QS. Al-Ahzab/33: 21)

Allâh عزوجل memerintahkan supaya kita menerima apa-apa yang diberikan oleh Rasûlullâh ﷺ dan menjauhi apa-apa yang Beliau ﷺ larang. Allâh عزوجل berfirman:

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ

Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu sekalian, maka terimalah dia. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr/59: 7)

Di antara sifat kaum Mukminin adalah berserah diri dan tunduk secara mutlak kepada perintah Allâh dan perintah Rasul-Nya. Allâh عزوجل berfi rman:

اِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذَا دُعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ اَنْ يَّقُوْلُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَاۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Sesungguhnya jawaban Mukminin, bila mereka dipanggil kepada Allâh dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka hanyalah ucapan, “Kami mendengar dan kami taat.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An-Nûr/24: 51)

Juga firman-Nya, yang artinya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allâh dan Rasul-Nya telah memberikan keputusan (hukum) akan sesuatu urusan, bahwa mereka itu memilih urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allâh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab/33: 36)

Juga firman-Nya:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman hingga mereka manjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisâ’/4:65)

Dan as-Sunnah adalah dasar kedua setelah al-Kitab yang segala perkara wajib dikembalikan kepada keduanya. Allah عزوجل berfi rman, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allâh dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan itu kepada Allâh dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari akhir. (QS. An-Nisâ’/4: 59)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di رحمه الله berkata pada tafsir ayat ini, “…… Kemudian Allâh عزوجل memerintahkan untuk mengembalikan semua yang diperselisihkan manusia, berupa pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya kepada Allâh dan Rasul-Nya, yaitu: kepada Kitab Allâh dan Sunnah Rasul-Nya. Karena sesungguhnya di dalam keduanya itu ada keputusan untuk seluruh masalah khilafi yah, mungkin dengan (nash) yang tegas atau keumuman, atau isyarat, atau peringatan atau pemahaman atau keumuman makna. Apaapa yang menyerupai bisa dikiaskan padanya. Karena sesungguhnya Kitab Allâh dan Sunnah Rasul-Nya itu adalah bangunan agama, dan iman tidak akan lurus kecuali dengan keduanya. Maka mengembalikan kepada keduanya adalah syarat keimanan. Oleh karena itu, Allâh berfirman, “Jika kalian benar-benar beriman kepada Allâh dan hari akhir.” Ini menunjukkan bahwa barangsiapa tidak mengembalikan masalah-masalah yang diperselisihkan kepada keduanya, berarti ia bukan seorang Mukmin sejati, namun dia seorang yang beriman kepada thagut, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikutnya (ayat ke 60 -pen)”. (Taisîr Al-Karîm ar-Rahmân, 1/214)

Dengan demikian, al-Kitab dan as-Sunnah adalah jaminan kebenaran bagi orang yang mau berpegang teguh dengan keduanya dan lebih mendahulukan keduanya daripada yang lainnya, baik berupa akal, perasaan, pendapat imamnyaatau kelompoknya, mimpi, kasyf (penyingkapan tabir ghaib sebagaimana diyakini orang-orang Shufi ), hikayat dan sebagainya.

  1. Kewajiban mengikuti al-haq dan menjauh dari al-bathil.

Kalimat al-haq (kebenaran) dalam al-Qur’an terkadang menjadi lawan dari kalimat adh-dhalâl (kesesatan), sebagaimana firman Allâh عزوجل :

فَذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّۚ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ اِلَّا الضَّلٰلُ ۖفَاَنّٰى تُصْرَفُوْنَ

Maka (Dzat yang demikian) itulah Allâh, Rabb kalian al-Haq; maka tidak ada setelah al-haq (kebenaran) itu melainkan kesesatan. (QS. Yunus/10: 32)

Pada tempat yang lain, al-haq menjadi lawan dari al-bathil (yang rusak, sia-sia, tidak bermanfaat, dusta) seperti dalam fi rman-Nya:

ذٰلِكَ بِاَنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَاَنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ كَذٰلِكَ يَضْرِبُ اللّٰهُ لِلنَّاسِ اَمْثَالَهُمْ

Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti al-bathil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti al-haq dari Rabb mereka. (QS. Muhammad/47: 3)

Saat menafsirkan ayat ini, al-Qurthubi رحمه الله (wafat th 671 H) berkata dalam kitab tafsir beliau, “Para ulama kita berkata: bahwa ayat ini memutuskan tidak ada posisi yang ketiga antara al-haq dan al-bathil dalam masalah ini, yaitu masalah-masalah ushul (pokok), yang al-haq itu hanya ada satu pihak dalam masalah ini. Karena pembicaraan (di ayat) ini hanyalah dalam mensifati adanya dzat, (yaitu) bagaimana ia (sebenarnya). Dan ini berbeda dengan masalah-masalah furu’. (Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’an, QS. Muhammad/47: 3)

Maka kesimpulannya al-haq itu hanya satu, sedangkan yang berlawanan dengannya pastilah kebathilan atau kesesatan, dan tidak ada posisi ketiga setelah al-haq dan al-bathil.

Ibnu Mas’ud meriwayatkan:

خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللَّهِ ص خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: “هَذَا سَبِيْلُ اللَّهِ”، ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ:”هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ”، ثُمَّ قَرَأَ: ( وَإِنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلَاتَتَّبِعُوْا السُّبُلَ، فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ).

Rasûlullâh membuat satu garis untuk (menjelaskan kepada) kami, kemudian bersabda, “Ini adalah jalan Allâh”. Kemudian Beliau ﷺ membuat beberapa garis ke kanan dan ke kiri lalu bersabda, “Ini adalah subul (jalan-jalan), dan di setiap jalan-jalan itu ada syaitan yang menyeru kepadanya”. Kemudian Beliau membaca (ayat 153, surat al-An’aam): “Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan lain, sehingga ia akan memisahkan kalian dari jalan-Nya.” (HSR. an-Nasai di dalam Sunan al-Kubra no: 9215,9281, Ahmad (II/318) dan ad-Darimi (I/435,465)).

  1. Contoh-contoh al-Haq dan al-Bathil
  2. Al-Islam adalah agama yang haq, sementara agama-agama lainnya adalah bathil.

Allâh عزوجل berfirman:

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali-Imran/3: 85)

Dalam Zubdatut-Tafsir, Syaikh DR. Muhammad Sulaiman al-Asyqar berkata, “Jadi, setelah Nabi Muhammad ﷺ diutus, tidak ada agama kecuali agama Beliau. Dan tidak ada keselamatan di hari kiamat bagi orang yang tidak beragamaIslam.” Rasûlullâh ﷺ bersabda:

والَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَايَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِن بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّاكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi (Allâh) yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidaklah seorang dari umat ini, baik seorang Yahudi atau Nasrani yang mendengar tentang aku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia menjadi penduduk neraka. (HSR. Muslim, no. 153, Kitab: Al-Iman, dari Abu Hurairah)

  1. Tauhid adalah haq, sedang syirik adalah bathil

Allâh عزوجل berfi rman:

ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ وَاَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ الْبَاطِلُۙ وَاَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ ࣖ

(Kekuasaan Allâh) yang demikian itu karena sesungguhnya Allâh adalah al-Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain-Nya, itulah yang bathil. Dan sesungguhnya Allâh itu, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Al-Hajj/22: 62; Luqman/31: 30)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitab tafsirnya, surat al-Hajj ayat ke-62, “Yaitu (Allâh adalah) ilaahul-haq (Yang diibadahi dengan haq), yang ibadah itu tidak pantas dipersembahkan kecuali untuk-Nya, karena Dialah yang memiliki kekuasaan yang agung, yang apa-apa yang Dia kehendaki pasti terjadi dan apa-apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Dan segala sesuatu butuh kepada-Nya, (dan) rendah di sisi-Nya.

Allâh عزوجل juga berfi rman, yang artinya, “Dan barang siapa yang melakukan syirik terhadap Allâh, maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang jauh.” (QS. An-Nisaa’/4: 116)

Maka tauhidullah dengan bagiannya yang tiga: Tauhid Rububi yah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wash-Shifat semuanya adalah haq. Dan yang bertentangan dengan ini yang berupa syirik dengan seluruh keragamannya adalah bathil.

  1. Keimanan adalah haq, sedang kekafi ran adalah bathil.

Keimanan itu bermanfaat bagi pemiliknya dan kekafi ran itu membahayakan bagi pelakunya. Allâh عزوجل berfi rman:

وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ يَوْمَىِٕذٍ يَّتَفَرَّقُوْنَ فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَهُمْ فِيْ رَوْضَةٍ يُّحْبَرُوْنَ وَاَمَّا الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَكَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَلِقَاۤئِ الْاٰخِرَةِ فَاُولٰۤىِٕكَ فِى الْعَذَابِ مُحْضَرُوْنَ

Dan pada hari terjadinya kiamat, di hari itu (manusia) bergolong-golongan. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka mereka di dalam taman (surga) bergembira. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami (al-Qur’an) serta (mendustakan) menemui hari akhirat, maka mereka tetap berada di dalam siksaan (neraka). (QS. Ar-Ruum/30: 14- 16)

  1. Ketaatan adalah haq, sementara kemaksiatan adalah bathil.

Ta’at berarti mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan, sedang maksiat adalah sebaliknya, yaitu meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan. Ta’at secara mutlakkepada Allâh dan Rasul-Nya adalah haq, sebab itu adalah perintah dari al-Haq (Allâh) yang seluruh perintah-Nya mengandung hikmah dan pasti membawa manfa’at. Sebaliknya bermaksiat kepada Allâh dan Rasul-Nya adalah bathil dan pasti membawa kepada kerugian. Allâh عزوجل berfi rman:

تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗ وَذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَاۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ ࣖ

Itulah ketentuan-ketentuan dari Allâh. Dan barangsiapa taat kepada Allâh dan Rasul-Nya, niscaya Allâh memasukkannya ke dalam surga yang sungai-sungai mengalir di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa bermaksiat kepada Allâh dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allâh memasukkan ke dalam api neraka, sedang dia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisaa’/4: 13-14)

  1. Mengikuti Sunnah Rasûlullâh ﷺ dan Sunnah para sahabat Beliau adalah al-haq, sedangkan menyimpang darinya adalah kebathilan dan kesesatan.

Allâh عزوجل berfirman:

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah kebenaran jelas baginya, dan mengikuti (jalan yang) bukan jalan Mu’minin, Kami biarkan dia leluasa terhadap (kesesatan) yang telah dikuasainya itu dan Kami akan memasukkannya ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisaa’/4: 115)

Tentang ayat ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله mengatakan, “Keduanya itu saling berkaitan. Setiap orang yang menentang Rasul setelah kebenaran itu jelas baginya, berarti dia telah mengikuti (jalan yang) bukan jalan kaum Mukminin. Dan setiap orang yang telah mengikuti (jalan yang) bukan jalan Mukminin berarti dia telah menentang Rasul sesudah kebenaran jelas baginya.

Akan tetapi jika dia menyangka bahwa dia adalah orang yang mengikuti jalan Mukminin, padahal dia keliru, maka dia sama kedudukannya dengan orang yang menyangka bahwa dia adalah orang yang mengikuti Rasul, padahal dia keliru”. (Kitab al-Iman, hlm. 35 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, penerbit: al-Maktab al-Islami, cet: III, tahun: 1408 H/1988 M)

Umar bin ‘Abdul-Aziz رحمه الله (wafat th 1420 H) berkata, “Rasûlullâh ﷺ dan para pemerintah (wulatul-amri) sesudah beliau telah melewati jalan-jalan (metode-metode, cara-cara), dan mengambil jalan-jalan tersebut adalah pembenaran terhadap kitab Allâh dan menyempurna kan ketaatan kepada Allâh serta kekuatan di atas agama Allâh.

Tidak ada seorangpun yang berhak merubahnya dan tidak (berhak) menggantinya serta tidak (boleh) memperhatikan sesuatu yang menyelisihinya. Barangsiapa mengamalkannya (niscaya) dia ditolong, dan barang siapa yang menyelisihinya (berarti) dia melewati (jalan yang) bukan jalan Mu’minin dan Allâh akan membi arkannya berada pada (kesesatan) yang telah dia kuasai itu dan Dia akanmemasukkannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam seburuk-buruk tempat kembali” (Asy-Syari’ah oleh Al-Aajuri, hlm. 48, dinukil dari Sallus-Suyuf , hlm. 49)

Orang-orang yang mengikuti Sunnah Rasûlullâh ﷺ dan sunnah para sahabat itulah firqah nâjiyah (golongan yang selamat) di antara 73 fi rqah yang diberitakan Rasûlullâh ﷺ di dalam hadits-haditsnya yang masyhur. Mereka itulah Ahlu Sunnah wal-Jama’ah.

Rasûlullâh ﷺ bersabda:

وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِيْ النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً))، قَالُوْا : وَمَنْ هِيْ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ؟ قَالَ: ( مَا أَنا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي).

Dan umatku akan terpecah menjadi 73 millah (agama), semuanya di neraka kecuali satu millah (yang menjalani) apa yang aku dan para sahabatku di atasnya. (HR. at-Tirmidzi; Kitab al-Iman, no. 2641 dan lain-lain, dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahîh Jami’ush-Shaghir, no. 5343)

Imam Abul ‘Aliyah berkata, “Hendaklah kalian berpegang dengan urusan yang pertama, yang mereka (para sahabat) jalani sebelum mereka berselisih”. (Riwayat Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hlm. 8)

Imam Al-Auza’i berkata, “Sabarkanlah dirimu di atas as-Sunnah. Berhentilah di mana kaum itu (para sahabat -pen) berhenti. Katakanlah dengan apa yang mereka katakan. Tahanlah (diamlah) dari apa yang mereka tahan (diam), dan berjalanlah di atas jalan salaf (pendahulu)mu yang shalih, karena hal itu akan melonggarkanmu apa yang melonggarkan mereka.” (Riwayat al-Lalikai, al-Ash-bahani, dan Ibnul-Jauzi di dalam Talbis Iblis, hlm. 8-9)

Dengan demikian apa saja yang menyimpang dari Sunnah Rasûlullâh ﷺ dan sunnah sahabat g adalah kebathilan. Begitu pula semua bid’ahdi dalam perkara agama adalah kesesatan dan kebati langan , baik dalam bidang: aqidah, ibadah, mu’amalah, tafsir al-Qur’an dan lainlain.

  1. Setiap kelompok mengaku di atas al-Haq

Karena fitrah manusia memang menyukai al-haq, maka setiap kelompok manusia, walaupun berbeda-beda bahkan saling bertentangan, mereka merasa berada di atas al-haq, di atas petunjuk dan kebaikan. Yang hal itu semua akan diputuskan oleh al-Haq (Allâh) pada hari yang haq (Kiamat) dengan putusan yang haq dan adil.

Orang-orang musyrik yang sesat menyangka bahwa mereka di atas petunjuk.

Allâh عزوجل berfi rman:

فَرِيْقًا هَدٰى وَفَرِيْقًا حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلٰلَةُ ۗاِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَيَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ

Sebagian manusia diberi petunjuk oleh Allâh dan sebagian lagi telah tetap kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan sebagai pelindung (mereka) dari selain Allâh, dan mereka mengira bahwa mereka mendapatkan petunjuk. (QS. al-A’raf/7: 30)

Orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allâh, sehingga sia-sia perbuatan mereka, mereka mengira bahwa mereka telah berbuat baik. Padahal amal kebaikan itu akan diterima dan dibalas oleh Allâh apabila dilakukan dengan ikhlas, sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh dan dilakukan oleh orang yang beriman. Allâh عزوجل berfi rman tentang mereka:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَاۤىِٕهٖ فَحَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَزْنًا

Katakanlah, “Apakah Kami akan beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang paling rugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatan mereka di kehidupan dunia ini, tetapi mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur) terhadap perjumpaan dengan-Nya, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak akan memberatkan timbangan (kebaikan) untuk mereka pada hari kiamat. (QS. Al-Kahfi /18: 103-105)

Bahkan sampai Fir’aunpun menyangka bahwa dia di atas kebenaran.

Allâh عزوجل berfi rman:

قَالَ فِرْعَوْنُ مَآ اُرِيْكُمْ اِلَّا مَآ اَرٰى وَمَآ اَهْدِيْكُمْ اِلَّا سَبِيْلَ الرَّشَادِ

Fir’aun berkata, “Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik, dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar”. (QS. Ghafir /40: 29)

Itulah kalau nilai kebenaran itu diserahkan kepada akal manusia semata atau perasaannya atau hawa nafsunya, niscaya tidak akan terjadi kesepakatan dan persatuan. Bahkan bisa langit dan bumi hancur karenanya.

Tidak ada jalan lain untuk memutuskan perselisihan itu kecuali dengan kembali kepada kitab Allâh yang haq, sunnah Rasul-Nya yang haq dengan meniti jalan salafush-Shalih dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in dan para ulama yang meneruskan jejak mereka sampai hari kiamat.

  1. Hal-hal yang bisa membantu untuk mencapai al-haq

(Disadur dari kitab: Wujubu Luzumil-Jama’ah wa Tarkit-Tafarruq, hlm. 349-353, oleh: Jamal bin Ahmad bin Basyir Baadi )

Setelah taufiq dan hidayah dari Allâh, adabanyak sarana yang bisa dijalani oleh seseorang untuk mendapatkan al-haq, diantaranya:

  1. Takwa kepada Allâh.

Allâh عزوجل berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَتَّقُوا اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّكُمْ فُرْقَانًا

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia menjadikan pembeda (antara al-haq dengan al-bathil) bagimu. (QS. Al-Anfal/8: 29)

Ibnu Katsir berkata pada tafsir ayat ini, “Karena sesungguh nya barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh, dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, niscaya dia diberi taufiq (bimbingan) untuk mengetahui al-haq dari yang bathil”.

  1. Ikhlas Kepada Allah

Seorang pencari al-haq tidaklah cukup untuk sekedar mengetahui al-haq saja. Tetapi haruslah disertai dengan usaha mengamalkannya dengan ikhlas karena Allâh. Sehingga dia selamat dari penyakit-penyakit kebodohan, kezhaliman, hawa-nafsu, kesombongan dan lainnya. Hal itu semua akan berakibat menolak al-haq. (Lihat pembahasan: Jalan yang haq dan jalan yang menyimpang di atas).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dan demikian pula orang yang berpaling dari mengikuti al-haq yang dia ketahui, disebabkan mengikui hawa nafsu. Maka sesungguhnya hal itu akan mengakibatkan kebodohan dan kesesatan pada orang tersebut. Sehingga membutakan hatinya dari al-haq yang nyata.” (Majmû’ Fatâwâ, 10/10)

  1. Berdoa kepada Allâh.

Barangsiapa berlaku ikhlas dan berusaha sungguh-sungguh untuk mencapai al-haq serta berdoa dengan penuh kesungguhan, maka hal itu termasuk salah satu sarana untuk mendapatkan al-haq.

Allâh عزوجل berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗ

Dan Rabb kalian berfirman, “Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan untukmu. (QS. Ghafir/40: 60)

Bahkan Rasûlullâh ﷺ memberikan teladan kepada umatnya, sebagaimana dikatakan oleh ummul-mukminin Aisyah رضي الله عنها :

كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ اِفْتَتَحَ صَلَاتَهُ:” اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيْلَ، وَمِيْكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ، عَالِمَ الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ، اِهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِيْ مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ”.

Kebiasaan Rasûlullâh ﷺ apabila berdiri (shalat) di waktu malam, beliau membuka shalatnya (dengan doa iftitah): “Allâhumma… “ yang artinya: “Wahai Allâh, Penguasa Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit-langit dan bumi, Yang Mengetahui yang tidak tampak dan yang tampak, Engkau akan mengadili hamba-hamba-Mu tentang apa yang telah mereka perselisihkan padanya, bimbinglah aku menuju al-haq dengan izin-Mu dari perkara yang diperseli sihkan. Sesungguhnya Engkau membimbing siapa saja yang Engkau kehendaki menuju jalan yang lurus.(HSR. Muslim dalam kitab: Shalat al-Musafi rin, no. 770; Abu Dawud, no.767 dan Ibnu Majah, no. 1357).

  1. Memperhatikan al-Kitab dan as-Sunnah.

Al-Kitab dan as-Sunnah adalah sumber pengambilan al-haq, al-huda (petunjuk) dan cahaya. Dengan keduanya bisa dipisahkan antara al-haq dengan al-bathil dan antara al-huda dengan adh-dhalal (kesesatan).

 Allâh عزوجل berfirman:

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan Kami turunkan peringatan (al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir. (QS. An-Nahl/16: 44)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Apabila seorang hamba membutuhkan Allâh dan berdoa kepadaNya serta memperhatikan kalam Allâh, sabda RasulNya ﷺ dan perkataan para Sahabat, Tabi’in dan imam-imam muslimin, niscaya jalan petunjuk terbuka baginya.” (Majmû’ Fatâwâ, 5/118)

  1. Mengikuti jalan salafus-shalih.

Generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in adalah genera si terbaik manusia berdasarkan kesaksian Rasûlullâh ﷺ . Mereka adalah sebaikbaik manusia setelah para nabi.

Orang yang menyimpang dari jalan mereka diancam oleh Allâh untuk dimasukkan ke dalam Jahannam di akhirat, sedangkan di dunia diancam dengan kesesatan.(surat an-Nisaa’: 115).

Allâh memuji orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik, di dalam firman-Nya:

وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ ١٠٠

Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allâh. (QS. At-Taubah/9: 100)

“Oleh karena itulah mengetahui perkataan -perkataan mereka tentang ilmu dan agama serta (mengetahui) amalan-amalan mereka(adalah) lebih baik dan lebih bermanfaat, daripada mengetahui perkataan-perkataan Mutaakhirin (orang-orang setelah tiga gener asi utama-pen) dan (mengetahui) amalan-amalan mereka dalam seluruh ilmu-ilmu agama dan amalan-amalannya.

Seperti tafsir, ushuluddin (pokok-pokok agama), furu’uddin (cabang-cabang agama), zuhd, ibadah, akhlaq, jihad dan lainnya. Karena sesungguhnya salafus-shalih lebih utama daripada orang-orang setelah mereka, sebagaimana ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah”.(Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Majmû’ Fatâwâ, 13/24)

  1. Persahabatan yang baik.

Persahabatan yang baik sangat berpengaruh terhadap seseorang untuk mengenal dan mengikuti al-haq. Oleh karena itulah Rasûlullâh ﷺ bersabda:

“الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ”

Seseorang itu menurut agama sahabat dekatnya, maka hendaklah seseorang dari kalian memperhatikan dengan siapa dia bersahabat. (HSR. Abu Dawud, no. 4833; at-Tirmidzi, no. 2378; Ahmad, no. 8028; dan al-Hakim, no. 7319. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)

Imam Abdullah bin Syaudzab berkata: “Sesungguhnya di antara nikmat Allâh kepada seorang pemuda, adalah jika dia beribadah, dia bersaudara dengan Shahibus Sunnah yang membawanya menurut sunnah.” (Riwayat Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah: I/205, no: 43 dan Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah: I/60 no:31).

Inilah di antara sarana-sarana yang bisa mengantarkan kepada al-haq, mudah-mudahan Allâh membimbing kita semua untuk mengetahui al-haq dan mengikutinya. Hanya Allâh yang memberikan petunjuk menuju kebenaran. [ ]


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/kebenaran-makna-dan-ukurannya/